Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Senin, 01 Maret 2010

Mari Menunggu sampai 75 Tahun!

MEDAN, KOMPAS - Jumlah dokter spesialis anak di Indonesia sangat jauh dari ideal dan penyebarannya tidak merata. Setidaknya butuh waktu 75 tahun untuk dapat memenuhi jumlah ideal dokter spesialis anak di Indonesia.

Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Badriul Hegar, menjelaskan, jumlah dokter anak di Indonesia hanya 2.400 orang. Adapun jumlah anak di Indonesia sekitar 66 juta jiwa atau 30 persen dari total jumlah penduduk Indonesia, yakni 220 juta jiwa.

Itu berarti satu dokter spesialis melayani 27.500 anak. Padahal, negara-negara Eropa membuat standar satu dokter spesialis anak maksimal melayani 2.500 anak. Adapun standar IDI menegaskan bahwa dokter spesialis melayani 10.000 sampai 15.000 warga. "Kita butuh tiga kali lipat lagi dokter spesialis anak," ujarnya di sela-sela acara Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) IV IDAI di Medan, Minggu (21/2/2010) malam .

Untuk memenuhi kekurangan tenaga itu, Indonesia membutuhkan waktu sekitar 75 tahun guna menambah 7.500 dokter spesialis anak. Indonesia baru bisa menelurkan 100 dokter spesialis anak per tahun dari 13 institusi pendidikan yang ada.

Ketua IDAI Sumatera Utara Guslihan Dasa Tjipta menambahkan, Indonesia kalah jauh dibandingkan dengan beberapa negara tetangga dalam hal jumlah dokter spesiali anak. Singapura yang hanya berpenduduk sekitar 95 juta jiwa memiliki 5.000 dokter spesialis anak.

Masalah lainnya adalah ketidakmerataan penyebaran dokter spesialis anak di Indonesia. Dari 2.400 dokter spesiali anak, sepertiganya ada di Jakarta. Akibatnya, beberapa kota/kabupaten tiak memiliki dokter anak.

Di Sumatera Utara, dari 147 dokter spesialis anak yang ada, sebanyak 60 orang berada di Medan. Daerah-daerah seperti Kabupaten Tapanuli Utara dan Humbang Hasundutan sama sekali tidak ada dokter spesialis anak. Pulau Nias yang dihuni oleh sekitar 700.000 jiwa hanya memiliki seorang dokter spesialis anak.

Penyebaran yang tidak merata itu, kata Badriul, disebabkan oleh absennya regulasi yang mewajibkan dokter umum atau dokter spesialis anak mengabdi ke daerah-daerah. Di samping itu, dokter spesialis anak cenderung membuka praktik di perkotaan karena alasan penghasilan. "Masalah ini sudah saya bicarakan dengan Menteri Kesehatan, tapi belum ada hasilnya," ujarnya.

Salah satu akibat dari ketidakmerataan penyebaran dan kecilnya jumlah dokter spesialis anak tersebut ialah tingginya angka kematian bayi baru lahir yang mencapai 34 jiwa per 1.000 kelahiran. IDAI berupaya menguranginya menjadi 23 jiwa per 1.000 kelahiran pada tahun 2015 nanti. Target ini menjadi pokok pembicaran dalam PIT IV di Medan yang berak hir pada 24 Februari itu. (MHF)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar