Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Selasa, 02 Maret 2010

Sunaryadi dan Rasa Nyeri Penderita Kanker

KOMPAS.com - Selain penyakit yang sulit disembuhkan, hal yang paling ditakuti pasien kanker adalah kesendirian. Nyeri yang muncul juga membuat proses penyembuhan atau penerimaan diri semakin sulit.

Pemahaman atas berbagai ketakutan yang dialami penderita kanker stadium lanjut berpadu dengan humanisme Prof dr R Sunaryadi Tejawinata SpTHT-KL (KOnk) yang kini Pembina Pusat Pengembangan Paliatif dan Bebas Nyeri RSU dr Soetomo Surabaya.

Pada tahun 1995, Sunaryadi merintis tim paliatif yang tidak hanya terdiri atas dokter dan tenaga medis, tetapi juga kader PKK dan puskesmas. Kunjungan ke rumah pasien yang sudah tidak bisa bergerak (home care) mulai dilakukan. Si pasien pun tetap terpantau pengobatannya, tidak merasa sendiri, dan semangat hidupnya bisa dikembalikan.

Kini, relawan Instalasi Paliatif mencapai 300 orang dan tersebar di seluruh Surabaya. Para relawan menyumbangkan kapasitas masing-masing. Ada yang menjadi tenaga administrasi, tenaga informatika, tenaga perawatan pasien kanker, atau pendamping secara psikologis.

Setiap Selasa dan Jumat, dua-tiga pasien kanker yang sudah tidak mampu ke rumah sakit dikunjungi di rumahnya. Tim yang datang terdiri dari dokter, petugas medis, psikolog, pendamping spiritual, serta kader PKK atau puskesmas. Di luar jadwal, pendampingan tetap bisa dilakukan oleh anggota tim.

Bahkan, mulai November 2007, didirikan ”Day Care and Respite Care” di RSU dr Soetomo. Respite care, kata Sunaryadi, diadakan untuk sedikit menggantikan kerabat yang merawat pasien kanker tanpa dipungut biaya. Sebab, ketika jenuh dan tidak sempat melakukan sesuatu untuk dirinya, anggota keluarga yang merawat ini tidak akan mampu melayani dengan baik.

Australia dan India

Persentuhan Sunaryadi dengan pasien kanker awalnya hanya disebabkan subspesialisasi onkologi yang diambilnya. Subspesialisasi ini pula yang membawa Sunaryadi mengunjungi hospice (tempat perawatan pasien kanker stadium lanjut) di sebuah rumah sakit di Australia Barat pada tahun 1990. Pasien tampak nyaman berkegiatan, seperti melukis dan menonton. Tidak ada rintih kesakitan atau bau akibat luka.

Kendati kagum, Sunaryadi menilai Australia sebagai negara kaya wajar bisa melakukan ini. Karena itu, kunjungan ini belum membuat dia tergerak.

Namun, setahun kemudian dia menemui hospice yang sama bagus di Bombay, India. Padahal, saat itu kondisi ekonomi Bombay jauh lebih parah ketimbang Indonesia. Sunaryadi pun mencari keterangan tentang organisasi, pendanaan, pengaturan keuangan di hospice dengan harapan bisa mencontoh. Sepulang dari India, dia memang masuk kelompok paliatif dan pada tahun 1992 dibuka Poli Perawatan Paliatif dan Bebas Nyeri RSU dr Soetomo.

Sementara itu, tahun 1990-1992, kerap kali pasiennya menghilang dan pengobatan kanker tidak berlanjut.

Sunaryadi tergerak menelusuri alamat pasien. Dia blusukan ke kampung-kampung. Mobil dihentikan di tepian jalan dan Sunaryadi bersama perawat berjalan kaki menelusuri gang-gang di Surabaya.

Sering kali, pasien tidak ditemukan di alamat yang diberikan. Setelah menggambarkan ciri-ciri pasien kepada warga sekitar, diketahui ternyata pasien itu tinggal di bedeng di antara dinding belakang rumah dan selokan, atau di permukiman yang sangat mengenaskan. Pasien sudah terbaring lemah, tidak mampu lagi berobat.

Tangis haru para pasien yang berhasil ditemukannya membuat Sunaryadi terenyuh. ”Kanker sering diikuti borok dan bau sehingga selain penyakitnya, pasien sangat takut ditinggalkan. Pendampingan membangkitkan kembali harapan hidup,” kata penggemar fotografi itu.

Terbatas

Oleh karena itu, sejak tahun 1994, ayah dua anak itu kerap mendatangi rumah para pasiennya. Namun, keterbatasan tenaga menyadarkan dia. Tidak mungkin pendampingan bisa ditangani hanya oleh personel dari RSU dr Soetomo. Dia pun kemudian mengusulkan konsep kader PKK dan puskesmas sebagai pendamping pasien kanker stadium lanjut.

Awalnya, dua kader dari setiap puskesmas di Surabaya dan PKK dilatih cara merawat pasien kanker. Cara mendampingi secara psikologis dan religi juga diberikan.

Pendekatan holistik dalam merawat pasien kanker stadium lanjut memang diperlukan. Sebab, nyeri pada pasien kanker bisa akibat masalah fisik, psikologis, sosial, atau spiritual. Karena itu, penghilangan rasa nyeri pada pasien kanker tidak bisa sekadar dengan obat.

Hal ini dibuktikan oleh lelaki yang pensiun mengajar mulai tahun 2001 itu. Suatu hari, seorang pasien kanker kesakitan sehingga perawat menelepon dan meminta Sunaryadi segera datang. Setelah tiba, ekspresi wajah si pasien tampak tidak berubah. Ketika disentuh tangannya, tanda kesakitan seperti kulit dingin dan nadi berdenyut cepat tidak terasa.

Akhirnya diketahui nyeri muncul setelah keluarganya menjenguk. Konsultasi dengan keluarga kemudian menguak kenyataan bahwa pasien itu kesal dengan putranya yang kerap mengambil dan menjual barang-barang di rumahnya. Dari penyebab itu, dicarilah solusi yang paling tepat.

”Jadi, nyeri itu tidak melulu fisik. Kalau akibat nonfisik, pengobatan tidak akan berpengaruh. Padahal, kita harus membebaskan pasien dari nyeri yang paling ditakuti pasien kanker stadium lanjut,” tutur Sunaryadi.

Setelah pensiun pada tahun 2001, kakek dua cucu ini masih aktif di RSU dr Soetomo. Selain menjadi Pembina Yayasan Paliatif Surabaya, Sunaryadi kini menjabat Penasihat Pengurus Pusat Masyarakat Paliatif Indonesia.

Dia juga masih aktif menyebarkan gagasan dan upaya untuk menghilangkan nyeri pada pasien kanker. Sabtu (13/2) lalu, Sunaryadi menjelaskan filosofi perawatan rumah (home care) untuk para aktivis paliatif Surabaya dalam Simposium ”Home Care” dan peluncuran buku Pedoman Diagnosa dan Terapi Paliatif, di Gedung Pusat Diagnosa Terpadu RSU dr Soetomo.

Jalan untuk membebaskan pasien kanker dari rasa nyeri mulai terbuka. Sedikit demi sedikit masyarakat mulai memanfaatkan instalasi paliatif. Pasien pun tidak perlu takut berobat karena donasi masuk ke Yayasan Paliatif. Bahkan, Surabaya menargetkan 2010 sebagai tahun bebas dari nyeri kanker.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar